Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki
kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan
unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib
gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan
dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah
(kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING
SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN
kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang
sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah
menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam
berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi
selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat
(membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan
proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati.
Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk
unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib
gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan
dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah
(kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING
SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN
kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang
sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah
menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam
berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi
selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat
(membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan
proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati.
Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk
tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat
mati
manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap
insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar
supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun
dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup
manusia. Berikut ini alurnya :
insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar
supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun
dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup
manusia. Berikut ini alurnya :
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan
perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan
lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak
Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan
membahana waktu pertama merasakan betapa tidak
nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur
enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah
Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa
universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati.
Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan
kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua
bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga
sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang
(bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar
mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas
lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia
tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang
bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi
membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat
sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan
jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang
sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si
ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut
kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan
sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang.
Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir
masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti
kepada orang tua, nusa dan bangsa.
sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan
jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang
sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si
ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut
kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan
sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang.
Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir
masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti
kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang
menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang
tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi
tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta,
orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati
tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat
menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah
hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri.
Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi
manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja
sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia
yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang
malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak
salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar
hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya
belum matang, masih sering salah menentukan arah dan
langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang
bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya
sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah
ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa.
Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa
tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun
dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi
tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap
dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani
melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan
dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu
angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka,
namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau
mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa.
Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia.
Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang
gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri
sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,
sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika
tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting
apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali
tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa
di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada.
Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah
sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati.
Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka
panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang
membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh
motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya
saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau
pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak
pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin
hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada.
Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting
jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar
tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan
tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua
membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola.
Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru
yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka
meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar
membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu.
Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan
waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat
yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang
bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal
menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh
tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan
keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak
pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-
citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat
mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak
pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang
yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia
sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari
tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak,
membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang
pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu
yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada
tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang.
Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada
yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak
tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi
pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah
dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah
gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam
setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum
raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal
banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja
misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi
Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura
(nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut
saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara,
duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala,
durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma,
diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan
keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat.
Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya
sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara
manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan
sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang
lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan
dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia
walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati.
Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang
kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti.
Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh
kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada
masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget
atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada
tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu.
Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak
berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-
minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga.
Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang
malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat
apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung
mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati
diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji.
Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang.
Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan
teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada
hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak
kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu
yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi
bathang..!!
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa
aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa
kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah
terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri.
Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam
hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga.
Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati.
Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti.
Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang
azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih
muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga,
namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali
diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya
rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati
sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa,
sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk
surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di
depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati,
betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan
hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci,
iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun
tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala
keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam
kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit
hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu
dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan
mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang
sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru
menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa
kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa
meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk
embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para
leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali.
Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak
mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan.
Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.
Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini
ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini,
merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih
ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya
meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak
terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi
rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah
mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah
mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli.
Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi
sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi,
toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang.
Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya.
Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan
Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang
kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar,
yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang
dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-
malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka
menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan
menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar
menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan
diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti
pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti,
dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak
sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi
kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika
mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir,
musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk
merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia
harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain.
Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama.
Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai
dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus
peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan
bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan
maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat
universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana,
rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad
sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak
wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan
selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku.
Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh
anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia
akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang
bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat,
yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh
umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong
kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun
mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami
sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa,
yakni segenap jiwa dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama
umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan
laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam
kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan
suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah,
orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh
namun suka mencelakai sesama, semua itu akan
menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi.
Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak
tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang
sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak
ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah
menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di
alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita,
dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan
sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang
berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam
keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi,
kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat
“lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada
penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang
masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup
sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah
gingsir